Try out kedua berlangsung tadi pagi. Aliya
merasa tak mampu menyelesaikan soal-soal dengan baik. Ini membuatnya minder
sekaligus cemas menghadapi ujian nasional mendatang. Siapa sih, yang tidak
cemas menghadapi UN? Apalagi jika ia seorang remaja yang otaknya pas-pasan, tak
disiplin belajar, dan masih suka main.
Agar lambat sampai di rumah, Aliya memilih berjalan kaki,
sambilmengumpulkan keberanian menghadapi ibu. Setibanya di rumah, wajah Aliya
tampak lesu, membuat ibu iba melihatnya. Karena Aliya diam saja, ibu pun tidak
menyinggung apa pun soal try out.
Sebenarnya ibu cukup bahagia memiliki anak seperti Aliya. Walau hampir
11 tahun bersekolah belum pernah mendapat rangking, tapi ia selalu naik kelas.
Aliya pun memiliki sikap positif yang tak banyak dimiliki remaja seusianya. Ia
merasa wajib memakai jilbab, anti pacaran, serta enggan nongkrong di mal. Itu
semua membuat ibu haru dan bahagia.
Ibu tahu, akademik memang penting, tapi jadi tak begitu penting jika
dibandingkan dengan keimanan. Prinsip ibu, keimanan bisa dibawa ke alam kubur,
namun ijazah tidak bisa meluluskan manusia dari pertanyaan malaikat Munkar dan
Nakir. Akan tetapi, Ibu dan Ayah aliya menginginkan anaknya bisa bersekolah di
sekolah favorit yang “hanya” menerima murid-murid pintar.
Nilai rata-rata siswa yang masuk ke sekolah tersebut di atas 9 dan
harus melewati beberapa penyaringan. Sementara Aliya, nilai try out-nya
saja dominan angka 7. Lalu bagaimana cara ia memenuhi harapan orangtuanya?
Aliya sadar dirinya kurang mampu menembus sekolah itu. Namun ia pun tak
sanggup membayangkan kekecewaan di wajah Ayah dan Ibu jika ia tak diterima di
sekolah unggulan tersebut.
Aliya menulis kegelisahan hatinya di buku diary.
Dear diary, kamu tahu, betapa tak enaknya jadi anak yang otaknya
pas-pasan. Sudah bertekad belajar sungguh-sungguh, masih saja ketiduran semalam
suntuk. Hasilnya, aku hanya mendapat nilai 6 atau 7.
Menurutku, sekolah yang baik itu sekolah yang mampu mendidik anak-anak
yang tidak pintar menjadi pintar. Dari yang tidak disiplin menjadi disiplin.
Dari yang berotak udang kayak aku ini menjadi otak lobster.
Seharusnya sekolah untuk para bintang itu ditutup saja. Sebab sekolah
semacam itu hanya menerangi bintang. Anak yang diasah hanya yang sudah pintar.
Guru-guru yang bagus pun hanya sibuk mendidik anak-anak pintar. Tak tersisa
lagi guru pintar untuk anak yang tidak pintar.
Dear diary, bantu aku bertanya pada mereka, buat apa mendirikan sekolah
yang hanya menerangi para bintang.
fifi p. jubilea,
se, MSc
@majalah ummi, No. 4/XXIV/April 2012/1433H
0 komentar:
Posting Komentar