Aku, dan apa yang ada di sekitarku...

Minggu, 23 Februari 2014

Posted by ashidqy hayun on 15.59 in | No comments
Try out kedua berlangsung tadi pagi. Aliya merasa tak mampu menyelesaikan soal-soal dengan baik. Ini membuatnya minder sekaligus cemas menghadapi ujian nasional mendatang. Siapa sih, yang tidak cemas menghadapi UN? Apalagi jika ia seorang remaja yang otaknya pas-pasan, tak disiplin belajar, dan masih suka main.
ujian nasional smp
Agar lambat sampai di rumah, Aliya memilih berjalan kaki, sambilmengumpulkan keberanian menghadapi ibu. Setibanya di rumah, wajah Aliya tampak lesu, membuat ibu iba melihatnya. Karena Aliya diam saja, ibu pun tidak menyinggung apa pun soal try out.
Sebenarnya ibu cukup bahagia memiliki anak seperti Aliya. Walau hampir 11 tahun bersekolah belum pernah mendapat rangking, tapi ia selalu naik kelas. Aliya pun memiliki sikap positif yang tak banyak dimiliki remaja seusianya. Ia merasa wajib memakai jilbab, anti pacaran, serta enggan nongkrong di mal. Itu semua membuat ibu haru dan bahagia.
Ibu tahu, akademik memang penting, tapi jadi tak begitu penting jika dibandingkan dengan keimanan. Prinsip ibu, keimanan bisa dibawa ke alam kubur, namun ijazah tidak bisa meluluskan manusia dari pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Akan tetapi, Ibu dan Ayah aliya menginginkan anaknya bisa bersekolah di sekolah favorit yang “hanya” menerima murid-murid pintar.
Nilai rata-rata siswa yang masuk ke sekolah tersebut di atas 9 dan harus melewati beberapa penyaringan. Sementara Aliya, nilai try out-nya saja dominan angka 7. Lalu bagaimana cara ia memenuhi harapan orangtuanya?
Aliya sadar dirinya kurang mampu menembus sekolah itu. Namun ia pun tak sanggup membayangkan kekecewaan di wajah Ayah dan Ibu jika ia tak diterima di sekolah unggulan tersebut.
Aliya menulis kegelisahan hatinya di buku diary.
Dear diary, kamu tahu, betapa tak enaknya jadi anak yang otaknya pas-pasan. Sudah bertekad belajar sungguh-sungguh, masih saja ketiduran semalam suntuk. Hasilnya, aku hanya mendapat nilai 6 atau 7.
Menurutku, sekolah yang baik itu sekolah yang mampu mendidik anak-anak yang tidak pintar menjadi pintar. Dari yang tidak disiplin menjadi disiplin. Dari yang berotak udang kayak aku ini menjadi otak lobster.
Seharusnya sekolah untuk para bintang itu ditutup saja. Sebab sekolah semacam itu hanya menerangi bintang. Anak yang diasah hanya yang sudah pintar. Guru-guru yang bagus pun hanya sibuk mendidik anak-anak pintar. Tak tersisa lagi guru pintar untuk anak yang tidak pintar.
Dear diary, bantu aku bertanya pada mereka, buat apa mendirikan sekolah yang hanya menerangi para bintang.


fifi p. jubilea, se, MSc
@majalah ummi, No. 4/XXIV/April 2012/1433H

0 komentar:

Posting Komentar

Search Our Site