Pada dasarnya, sejarah merupakan penafsiran terhadap
peristiwa zaman lampau yang dipelajari secara kronologis. Para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan periodesasi sejarah hukum Islam.
Berikut akan diuraikan periodisasi sejarah hukum Islam.
A. Hukum Islam Pada Zaman
Rosulullah
Bangsa Arab pra-Islam dikenal sebagai
bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis Arab yang
strategis, membuat Islam mudah tersebar ke berbagai wilayah. Hal lain yang
mendorong cepatnya perluasan wilayah adalah berbagai upaya yang dilakukan umat
Islam.
Ciri-ciri utama tatanan bangsa Arab
pra-Islam adalah sebagai berikut:
1.
Menganut paham kesukuan
(qabilah)
2.
Memiliki tata sosial politik
yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas, faktor keturunan lebih
penting daripada kemampuan.
3.
Mengenal hierarki sosial yang
kuat
4.
kedudukan perempuan cenderung
direndahkan.
Dilihat dari sumber yang digunakan,
hukum arab pra-Islam bersumber pada adat-istiadat. Dalam bidang muamalah, di
antara kebiasaan mereka adalah dibolehkannya transaksi mubadalah (barter), jual
beli, kerjasama pertanian (muzaro’ah), dan riba. Di samping itu, di kalangan
mereka juga terdapat jual beli yang bersifat spekulatif seperti bai’
al-munabadzah.
Diantara ketentuan hukum keluarga
arab pra-Islam adalah dibolehkannya berpoligini dengan perempuan dengan jumlah
tanpa batas, serta anak kecil dan perempuan tidak dapat menerima harta pusaka
atau harta peninggalan.
Tatanan masyarakat arab pra-Islam
cenderung merendahkan martabat wanita dapat dilihat dari dua kasus. Pertama,
perempuan dapat diwariskan, seperti seorang ibu tiri harus rela dijadikan istri
oleh anak tirinya ketika suaminya meninggal; ibu tiri tidak mempunyai hak
pilih, baik untuk menerima ataupun menolaknya. Kedua, perempuan tidak
memperoleh harta pusaka.
Hukum Islam pada zaman Nabi Muhammad
SAW dapat dibedakan menjadi dua fase; fase Mekah dan fase Madinah. Ciri-ciri
masyarakat Islam pada fase Mekah adakah (a) jumlahnya masih sangat sedikit, (b)
karena kecil, mereka masih sangat lemah dibandingkan dengan kekuatan yang
dimiliki para penentang Islam dan (c) karena lemah, mereka dikucilkan
masyarakat penentang Islam; misalnya kegiatan ekonominya diblokade.
Masyarakat Islam yang dibimbing oleh
Nabi Muhammad SAW di Mekah adalah masyarakat yang baru saja memeluk Islam yang
sebelumnya menyembah berhala. Langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW adalah memperbaiki akidah mereka, sebab akidah adalah fondasi bagi amaliah
ibadah.
Perbaikan akidah diharapkan dapat menyelamatkan
umat Islam dari kebiasaan sebelumnya, seperti kebiasaan berperang, zina,
mengubur anak perempuan hidup-hidup. Karena tekanan dari masyarakat yang benci
terhadap Islam begitu kuat, akhirnya Nabi Muhammad beserta pengikutnya hijrah
ke Madinah. Setelah hijrah, fase Madinah dimulai.
Nabi Muhammad SAW tinggal di Madinah
sekitar 10 tahun, dimulai dari hijrah hingga Nabi Muhammad SAW wafat. Ciri-ciri
masyarakat Islam fase Madinah adalah (a) Islam tidak lagi lemah karena
jumlahnya banyak dan berkualitas, (b) mengeliminasi permusuhan dalam rangka
mengesakan Allah, (c) adanya ajakan untuk mengamalkan syariat Islam dalam
rangka memperbaiki hidup bermasyarakat dan (d) aturan damai dan perang.
Dengan keadaan masyarakat yang
demikian, yang disyariatkan pada fase Madinah adlaah hukum kemasyarakatan yang
mencakup: a) muamalat, b) jihad, c) jinayat, d) mawarist, e) wasiat, f) talak,
g) sumpah, dan h) peradilan.
Dalam menyelesaikan persoalan yang
dihadapi, Nabi Muhammad SAW senantiasa berpedoman pada Al-Qur’an maupun
Al-Sunnah. Begitu pula sahabat menaati dan mengikuti keputusan Nabi Muhammad
SAW.
Al-Qur’an adalah kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa arab, dinukil secara
mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah. Hukum yang terkandung dalam
Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua: ibadah dan muamalah. Yang termasuk
ibadah adalah sholat, zakat, haji, dan nazar. Adapun muamalah adalah hukum yang
bertujuan membangun keselarasan hubungan manusia dengan manusia. Cakupan
muamalah adalah sebagai berikut:
1.
Hukum Keluarga, yaitu hukum
yang mengatur hubungan individu dengan individu dalam keluarga dan kekerabatan.
2.
Hukum Kebendaan, yaitu hukum
yang mengatur tukar-menukar harta seperti ijarah, rahn, kafalah dan syirkah.
3.
Hukum jinayah, yaitu hukum yang
mengatur pelanggaran dan sanksi yang dilakukan oleh mukalaf. Tujuannya adalah
menjaga hidup manusia dan hartanya.
4.
Lembaga peradilan, yaitu hukum
yang mengatur syarat-syarat hakim, saksi, dan sumpah.
5.
Hukum dusturi, yaitu hukum yang
berhubungan dengan interaksi antara pemimpin dengan rakyat.
6.
Hukum negara, yaitu hukum yang
mengatur hubungan kenegaraan, hubungan antarnegara.
7.
Hukum ekonomi, yaitu hukum yang
berhubungan dengan antara kaya dan miskin dan antara individu dan kelompok.
Al-sunnah dipahami sebagai sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk perkataan,
perbuatan, maupun taqrir. Apabila penyandaran itu diriwayatkan oleh mayoritas
ulama yang mustahil dusta, hadits atau sunnah itu berkualitas mutawatir.
Semakin rendah kualitas penyandarannya, akan semakin rendah pula kualitasnya. Pengkategoriannya
menjadi hadits masyhur, dan hadits ‘ahad. Kualitas hadits ‘ahad diklasifikasi
menjadi shahih, hasan, dan dla’if. Apabila penyadaran itu terbukti bohong,
riwayat tersebut termasuk maudhlu’.
Selain Al-Qur’an dan Al-sunnah, Nabi
Muhammad SAW juga berijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash
dari Allah. Ijtihad adalah suatu metode penggalian hukum Islam; sedangkan dari
segi “hasil”, termasuk sumber hukum Islam.
B. Hukum Islam pada Zaman
Sahabat
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
sahabat sebagai generasi Islam pertama, meneruskan ajaran dan misi kerasulan.
Abu Bakar adalah sahabat pertama yang terpilih menjadi pengganti Nabi Muhammad
SAW. Kemudian Umar Ibn Khathab, dilanjutkan Usman Ibn Affan, dan sahabat yang
terakhir adalah Ali ibn Abi Thalib.
Beberapa persoalan penting yang
dihadapi pada zaman sahabat adalah:
1.
Sahabat khawatir akan
kehilangan Al-Qur’an karena banyaknya sahabat yang hafal Al-Qur’an meninggal
dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.
2.
Sahabat mengkhawatirkan
terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Al-Qur’an akan seperti ikhtilaf Yahudi dan
Nasrani yang terjadi sebelumnya.
3.
Sahabat takut akan terjadi
pembohongan terhadap Sunnah Rosulullah SAW.
4.
Sahabat khawatir umat Islam akan
menyimpang dari hukum Islam.
5.
Sahabat menghadapi perkembangan
kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat karena Islam adalah petunjuk bagi
mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam menghadapi
kekhawatiran-kekhawatiran di atas, para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an
berdasarkan bahan-bahan yang ada, yaitu hafalan dan catatan menjadi berbentuk
buku
Sumber atau dalil hukum Islam yang
digunakan pada zaman-zaman sahabat adalah a) Al-Qur’an, b) Sunnah, dan c)
ijtihad. Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping
individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan
memusyawarahkan hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut ijma’.
Dalam perkembangannya, fatwa-fatwa
pada zaman sahabat selalu berkembang, namun sulit dibuktikan secara kronologis
karena tidak ada data yang menunjukkan kronologi dari pendapat-pendapat dari
pada sahabat.
C. Hukum Islam pada Zaman
Tabi’in
Setelah masa khalifah yang empat
berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin
oleh Bani Umayyah. Pemerintahan ini didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan
yang sebelumnya menjadi Gubernur Damaskus.
Pada fase ini, perkembangan hukum
Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisist
mendorong terbentuknya aliran hukum. Di antara faktor-faktor yang mendorong
perkembangan hukum Islam adalah sebagai berikut:
1.
Perluasan wilayah
Banyaknya daerah baru yang dikuasai Islam berarti banyak
pula persoalan yang dihadapi oleh umat Islam; persoalan tersebut perlu
diselesaikan berdasarkan Islam karena agama khanif ini merupakan petunjuk bagi
manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum
Islam; karena semakin luas wilayah yang dikuasai berarti semakin banyak
penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak penduduk, semakin banyak pula
persoalan hukum yang harus diselesaikan.
2.
Perbedaan penggunaan ra’yu
Pada zaman tabi’in, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu mazhab atau aliran hadits dengan aliran ra’yu. Aliran hadits adalah
golongan yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat hati-hati dalam
penggunaan ra’yu, sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu
dibanding dengan hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum Islam itu semakin
mendorong perkembangan ikhtilaf, dan pada saat yang sama pula semakin mendorong
perkembangan hukum Islam.
Secara umum, tabi’in mengikuti
langkah-langkah penetapan dan penerapan hukum yang telah dilakukan sahabat
dalam istinbath al-ahkam. Langkah-langkah yang mereka lakukan adalah sebagai
berikut:
1.
Mencari ketentuannya dalam
Al-Qur’an
2.
Apabila ketentuan itu tidak
didapatka dalam Al-Qur’an mereka mencarinya dalam sunnah
3.
Apabila tidak didapatkan dalam
Al-Qur’an dan sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat.
4.
Apabila pendapat sahabat tidak
diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian, sumber-sumber atau
dasar-dasar hukum Islam pada periode ini adalah 1) Al-Qur’an, 2) Sunnah, 3)
Ijma’ dan pendapat sahabat, 4) Ijtihad.
D. Pembentukkan Mazhab dan
Pembukuan Hadits
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir,
kendali pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasiah. Berbeda
dengan fase sebelumnya yang ditandai dengan perluasan wilayah, fase ini
ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pengaruhnya masih dapat dibuktikan
sampai saat ini. Fase ini, dalam sejarah hukum Islam dikenal sebagai fase atau
zaman keemasan.
Faktor utama yang mendorong
perkembangan hukum Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal
berikut:
Pertama, banyaknya mawali yang masuk
Islam. Pada zaman Umayyah, Islam telah berhasil menguasai pusat-pusat peradaban
Yunani, yaitu Antioch dan Bactra.
Dalam upaya mentransformasikan ilmu
Yunani ke dunia Islam diperlukan banyak ilmuwan yang menerjemahkah buku-buku
filsafat ke dalam bahasa Arab. Melalui gerakan penerjemahan ini, karya-karya
dari Yunani dalam bidang filsafat, kedokteran, dan ilmu pengetahuan dapat
dibaca umat Islam.
Kedua, berkembangnya pemikiran karena
luasnya ilmu pengetahuan. Dalam bidang Ilmu Kalam terjadi perdebatan; setiap
kelompok memiliki cara berpikir tersendiri dalam memahami akidah Islam. Selain
itu, saat itu terjadi pula pertarungan pemikiran antara mutakalimin,
muhadditsin, dan fuqaha.
Ketiga, adanya upaya umat Islam untuk
melestarikan Al-Qur’an dengan dua cara, yaitu dicatat (dikumpulkan dalam satu
mushaf) dan dihafal. Pelestarian Al-Qur’an melalui hafalan dilakukan dengan
mengembangkan cara membacanya sehingga saat itu dikenal corak-corak bacaan
Al-Qur’an. Corak bacaan Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua yaitu bacaan yang
shahih dan bacaan yang syadzah.
Aliran hukum Islam yang terkenal dan
masih ada pengikutnya hingga kini hanya beberapa, diantaranya Hanafiah,
Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah. Aliran Hanafiah didirikan oleh Abu Hanifah.
Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah
pada zaman Dinasti Umayyah dan meninggal pada zaman Dinasti Abbasiah.
Abu Hanifah belajar fikih kepada
ulama Irak (ra’yu). Ia dianggap representatif untuk mewakili pemikiran aliran
ra’yu. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui guru-guru dan murid-muridnya
sehingga dari segi hubungan guru-murid kita dapat menyaksikan bahwa dia
termasuk salah seorang generasi pengembang aliran ra’yu.
Abu Hanifah mempunya dua cara
berijtihad yaitu cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan
tambahan. Cara ijtihad yang pokok adalah apabila tidak mendapatkan dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rosul, maka merujuk kepada qaul sahabat.
Sedangkan cara ijtihad Abu Hanifah
yang bersifat tambahan adalah 1) bahwa dilalah lafad umum (‘am) adalah qath’i
seperti lafad khash, 2) bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan
pendapat umum adalah bersifat khusus, 3) bahwa banyaknya yang meriwayatkan
tidak berarti lebih kuat, 4) adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat)
syarat dan shifat, 5) bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang
dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya, 6) mendahulukan qiyas
jali atas khabar ahad yang dipertentangkan, 7) menggunakan istihsan dan
meninggalkan qiyas apabila diperlukan.
Berikut ini di antara pendapat dari
Abu Hanifah:
1.
Bahwa benda wakaf masih tetap
milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ariyah (pinjam-meminjam).
Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan
dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf mesjid, wakaf yang
ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf yang diikrarkan
secara tegas bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif terus meninggal
dunia.
2.
Bahwa perempuan boleh menjadi
hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan
perkara pidana. Alasannya, karena perempuan tidak diolehkan menjadi saksi
pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata.
3.
Shalat Gerhana dilakukan dua
rekaat sebagaimana shalat Ied, bukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.
Malikiah adalah aliran hukum Islam
yang didirikan oleh Imam Malik. Ia dilahirkan di Madinah pada zaman Bani
Umayyah dan meninggal pada zaman Bani Abbasiah.
Imam Malik adalah ulama pendiri
mazhab. Karena itu, ia memiliki murid dan pengikut yang meneruskan dan
melestarikan pendapat-pendapatnya. Disamping melestarikan pendapat Imam Malik,
para pengikutnya juga menulis kita yang dapat dijadikan rujukan pada generasi
berikutnya.
Langkah-langkah ijtihad Imam Malik
adalah sebagai berikut:
1.
Mengambil dari Al-Qur’an
2.
Menggunakan zhahir Al-Qur’an,
yaitu lafad umum
3.
Menggunakan dalil Al-Qur’an
mafhum al muwafaqoh
4.
Menggunakan dalil Al-Qur’an
mafhum mukhalafah
5.
Mengunakan tanbih Al-Qur’an,
yaitu memperhatikan illat.
Salah satu dalil hukum yang sering
digunakan oleh Imam Malik adalah Ijma’ ulama Madinah. Imam Malik lebih
mengutamakan ijma’ dan amal ulama Madnah dari pada qiyas, khobar ahad, dan qaul
sahabat. Beberapa ijma’ dan amal ulama Madinah adalah
1.
Kesucian mustahadlah
Wanita yang haid atau nifas diwajibkan mandi satu kali;
kesuciannya setelah itu cukup dengan berwudlu Hujah yang ia gunakan adalah amal
ulama Madinah.
2.
Berjimak dengan perempuan
mustahadlah
Laki-laki diharamkan berjimak dengan istrinya yang
sedang haid atau nifas.
3.
Qamat shalat
Qamat shalat dilakukan satu kali-satu kali.
4.
Bacaan shalat di belakang imam
Dalam shalat berjama’ah, makmum disunatkan membaca
bacaan shalat ketika bacaan shalat imam tidak terdengar (al jahr) dan
meninggalkan bacaan shalat ketika bacaan shalat imam terdengar.
5.
Takbir zawa’id dalam shalat
hari raya
Takbir zawa’id dalam shalat hari raya Idul Fitri dan
Idul Adha adalah 6 kali takbir, selain takbiratul ikhrom pada rekaan pertama,
sedangkan takbir pada rakaat kedua adalah 5 kali takbir, selain takbir bangkit
dari sujud.
6.
Jumlah rakaat minimal dalam
shalat witir
Menurut Imam Malik, jumlah rakaat shalat witir yang
paling sedikit adalah 3 rakaat. Hujahnya adalah amal ulama Madinah.
7.
Shalat musafir
Orang yang dalam perjalan dibolehkan melakukan shalat
qashar dan atau shalat jama’. Apabila seseorang mendapatkan waktu shalat dalam
perjalanan kemudian mengkahirkan kewajiban shalatnya, tetapi sebelum
melaksanakan kewajiban shalat tersebut ia (musafir) telah sampai dirumahnya
(sehingga ia berkedudukan sebagai muqim, bukan musafir lagi), menurut Imam
Malik, orang tersebut diharuskan melakukan shalat sebagai musafir.
8.
Bacaan shalat jenazah
Dalam shalat jenazah terdapat empat kali takbir, Memuji
Allah setelah takbir pertama, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW setelah takbir
kedua, doa bagi mayit setelah takbir ketiga, dan salam setelah takbir keempat.
9.
Sujud tilawah
Imam Malik berpendapat bahwa tempat bacaan dalam
Al-Qur’an yang pembaca dan yang mendengarnya dianjurkan sujud terdapat 11 ayat.
10.
Nishab zakat emas
Nishab zakat emas adalah 20 dinas tanpa memperhitungkan
harganya, emas yang kurang dari dua puluh dinar tidak wajib dizakati.
11.
Zakat harta milik yang
mempunyai utang
Seseorang yang memiliki harta yang sudah mencapai nishab
wajib zakat, tetapi ia mempunyai hutang, menurut Imam Malik apabila yang bersangkutan
memiliki harta untuk membayar utangnya, dan ia mempunyai harta lain yang
terkena wajib zakat, maka ia wajib menzakati harta tersebut.
12.
Zakat utang
Orang yang mengutangkan harta kepada yang lain, dan
harta yang dipinjamkan mencapai nishab, yang bersangkutan wajib mengeluarkan
zakatnya secara mutlak. Akan tetapi Imam Malik mengatakan bahwa kewajiban
tersebut ditunaikan apabila utang itu sudah ia kuasai kembali yang sebanding
dengan harta yang mencapai nishab zakat atau apabila jumlah pembayaran utang
mencapai nishab.
13.
Tanaman dan buah-buahan yang
wajib dizakati
Menurut Imam Malik, harta yang tidak termasuk
buah-buahan dan tanaman tidak wajib dizakati.
14.
Zakat tijarah ahl al-dzimmah
Ahl al Dzimmah yang berniaga di negeri muslimin
diwajibkan zakat tijarah, kadar zakatnya adalah 10%, kecuali benda-benda
seperti gandum dan minyak secara khusus dibawah ke daerah tertentu, zakatnya
adalah 5%.
15.
Berhenti talbiah
Dalam ibadah haji terdapat talbiah. Imam Malik
berpendapat bahwa talbiah tidak diucapkan lagi jika matahari terbenam pada hari
Arofah.
16.
Khiyar majelis
Imam Malik berpendapat bahwa khiyar majelis itu tidak
ada, jual beli sudah terjadi apabila penjual dan pembeli telah melakukan akad,
penjual dan pembeli tidak mempunyai hak membatalkannya, baik sudah berpisah
maupun belum.
17.
Barter
Barter boleh dilakukan, yang tidak boleh adalah menukar
dengan tambahan dari salah satunya.
18.
Bapak mengawinkan anak perempuan
tanpa izin
Wali berhak mengawinkan anak perempuannya tanpa izin
dari anak yang bersangkutan adalah sah.
19.
Hal bulan madu bagi suami yang
berpoligini
Suami yang beristri lebih dari 1 (satu) berhak berbulan
madu dengan istri yang baru dinikahinya. Apabila masih gadis, hak bulan madunya
adalah 7 malam, sedangkan jika berstatus janda, hal bulan madunya adalah 3
malam.
20.
Kadar susuan yang mengharamkan
perkawinan
Imam Malik berpendapat bahwa setiap susuan dapat menjadi
sebab haramnya menikah dengan ibu dan saudara sesusuan, sebab banyak dan
sedikitnya susuan adalah sama.
21.
Talak dua yang berkelanjutan
Perempuan yang dicerai oleh suaminya dengan talak satu
atau talak dua, kemudian perempuan tersebut menyelesaikan waktu tunggunya, dan
menikah lagi dengan laki-laki lain, kemudian perempuan tadi ditinggal mati atau
dicerai kembali oleh suaminya yang kedua, perempuan itu pun menyelesaikan waktu
tunggunya dan menikah lagi dengan mantan suaminya yang pertama setelah waktu
tunggunya selesai, bahwa talak yang telah ada sebelumnya (yang dilakukan dalam
pernikahan yang pertama) masih berlaku.
22.
Talak dengan selesainya waktu
tunggu i’la
Suami yang melakukan ila terhadap istrinya tidak
(tergolong) menceraikannya, setelah waktu tunggunya selesai, suami berhak
memilih; menceraikannya atau menyentuhnya kembali.
23.
Diyat karena luka oleh kerabat
Aqilah tidak wajib membayar diyat jika diyat kurang dari
sepertiga, bila diyatnya sepertiga lebih, aqilah diwajibkan membayar diyat.
24.
Sanksi kafir dzimmi dengan
sengaja
Imam Malik berpendapat bahwa seorang muslim yang
membunuh kafir dzimmi tidak dibunuh kecuali pembunuhan yang disertai penipuan.
Hujah beliau adalah amal penduduk Madinah.
25.
Pengaruh zina terhadap
perkawinan
Haramnya kawin kepada ibu mertua adalah haram karena
perkawinan, setiap pernikahan merujuk kepada persetubuhan yang dihalalkan,
sedangkan zina tidak termasuk persetubuhan yang dihalalkan sehingga tidak dapat
menentukan kekerabatan.
26.
Kesaksian penuduh zina setelah
tobat
Kesaksian orang menuduh zina dapat diterima setelah yang
bersangkutan tobat. Kesaksiannya diterima apabila tobatnya telah tampak.
Aliran Syafi’iah didirikan oleh Imam
Syafi’i. Beliau lahir pada zaman Bani Abbas. Imam Syafi’I berguru kepada Imam
Malik dan di Kufah ia berguru kepada Muhammad ibn Al-Hasan yang beraliran Hanafi.
Imam Syafi’I merupakan ulama sintesis dari dua aliran yang berbeda, yaitu
aliran Irak dan aliran Madinah.
Adapun langkah-langkah ijtihad Imam
Syafi’i adalah “asal adalah Al-Qur’an dan sunnah. Apabila tidak dalam Al-Qur’an
dan Sunnah, ia melakukan qiyas terhadap keduanya. Apabila hadits telah
muttashil dan sanadnya shahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha). Makna
hadits yang diutamakan adalah makna zhahir, ia menolak hadits munqathi kecuali
yang diriwayatkan oleh Ibn al Musayyab, pokok (al ashl) tidak boleh
dianalogikan kepada pokok, bagi pokok tidak perlu dipertanyakan.”
Al Syafi’i membagi pendapatnya
menjadi dua: qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah pendapat al Syafi’i
yang dikemukakan dand itulis di Irak. Sedangkan qaul jadid adalah pendapat Imam
Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Sebab terbentuknya qaul qadim
dan qaul jadid adalah karena Imam Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadits dan
fikih yang diriwayatkan ulama Mesir yang tergolong ahl al hadits.
Imam Syafi’I memiliki pendapat yang
sebagian besar tercermin dalam kitab Al-Umm, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Imamah
Masalah imamah adalah masalah agama, karena itu
menurutnya mendirikan imamah merupakan kewajiban agama. Pemimpin umat Islam
mesti beragama Islam dan orang-orang nonmuslim terlindungi.
2.
Hakim perempuan
Salah satu perdebatan ulama yang cukup menarik untuk
diteliti adalah tentang hakim perempuan. Menurut Imam Syafi’I perempuan tidak
boleh menjadi hakim secara mutlak, artinya perempuan tidak boleh menjadi hakim,
baik hakim yang menangani hukum perdata maupun pidana.
3.
Rujukan Syafi’iah
Rujukan utama yang pada awalnya diimlakan kemudian
ditulisnya adalah Kitab Al-Umm. Sedangkan kitab yang kedua adalah al Risalah.
Aliran Hanbali didirikan oleh Ahmad
ibn Hanbal. Ia dilahirkan di Bagdad pada tahun
164 H. Beliau dikenal sebagai imam hadits dan memiliki kitab al-musnad. Ahmad
ibn Hanbal adalah ulama ahli hadits dan fikih yang sudah dikenal masyarakat.
Pandangannya berpengaruh di masyarakat. Ahmad ibn Hanbal sering melakukan
perjalanan dalam rangka mempelajari hadits dan fikih. Salah satu guru Ahmad ibn
Hanbal dalam bidang fikih adalah Abu Yusuf (pengikut dan penerus Mazhab
Hanafi).
Pendapat-pendapat Ahmad ibn Hanbal
dibangun atas lima
dasar, yaitu antara lain:
1.
Al nushush dari Al-Qur’an dan
Sunnah. Apaila telah ada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia berpendapat
sesuai dengan makna yang tersurat, makna yang tersiratnya ia abaikan.
2.
Apabila tidak didapatkan dalam
Al-Qur’an dan Sunnah, ia menukil fatwa sahabat, memilih pendapat sahabat yang
disepakati sahabat lainnya.
3.
Apabila fatwa sahabat
berbeda-beda, ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an
dan Sunnah.
4.
Ahmad ibn Hanbal menggunakan
hadits mursal dan dla’if apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, atau ijma’ yang
menyalahinya.
5.
Dalam pandangannya, qiyas
adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.
6.
Langkah terakhir adalah
menggunakan sadd al-dzara’i (melakukan tindakan prepentif terhadap hal-hal yang
negatif).
Adapun fikih menurut Ahmad ibn Hanbal
adalah dalam bidang pemerintahan, Ahmad ibn Hanbal mewajibkan umat Islam taat
kepada imam dan amirul mukminin. Orang yang tidak taat kepada imam dipandang
telah berlaku maksiat, dan apabila seseorang meninggal dalam keadaan tidak taat
kepada pemimpin, ia termasuk yang mati dalam keadaan jahiliah.
Dalam bidang muamalah, terutama
tentang khiyar al-majlis. Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa jual beli
belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual
dan pembeli masih satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila
keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (sudah berpisah), maka
akad sudah lazim.
Aliran Zhahiri merupakan sebuah
mazhab yang dinisbahkan kepada gelar pendirinya yaitu Daud Al Zhahiri. Setelah
selang cukup lama mazhab ini kemudian diteruskan oleh Ibnu Hazm al Andalusi.
Imam Daud dilahirkan di kota Bagdad. Ia digelari
al Zhahiri karena pendapatnya tentang cara memahami Al-Qur’an dan Sunnah, yakni
dengan menggunakan kata zhahir Al-Qur’an dan Sunnah. Pada awalnya, Imam Daud
belajar fikih al Syafi’i kepada guru-gurunya di Bagdad.
Setelah itu dia melakukan perjalanan ke Naisabur untuk belajar hadits. Setelah
itu ia keluar dari aliran Syafi’i dan membangun satu pendirian yang kemudian
menjadi aliran tersendiri.
Imam Daud menolak al qiyas dan
mengajukan al dalil sebagai cara memahami nash. Bagi Imam Daud, makna yang
digunakan dari Al-Qur’an dan Sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat, ia
tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari I’lat sebagaimana dilakukan
oleh ulama yang mengakui al qiyas sebagai cara ijtihad. Menurut Imam Daud,
syariat tidak boleh diintervensi oleh akal.
Imam Daud menentang al qiyas, dalam
penolakannya ia berpendapat bahwa yang pertama melakukan qiyas adalah iblis.
Meskipun demikian, ia tidak menolak qiyas secara keseluruhan. Qiyas yang
ditolak Imam Daud adalah qiyas khafi, sedangkan qiyas jali diterimanya. Di
antara pendapat Imam Daud adalah sebagai berikut:
1.
Yang junub boleh menyentuh
Al-Qur’an
Pendapatnya yang sejalan dengan situasi ini adalah
menurut Imam Daud Al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar itu adalah
makhluk, sedangkan Al-Qur’an yang tertulis dalam Lauh Al-Mahfuzh bukan makhluk.
Al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar di kalangan manusia adalah makhluk
dan boleh disentuh oleh wanita yang sedang haid dan junub.
2.
Pemimpin Mesti dari Kalangan
Quraisy
Imam Daud berpendapat bahwa pemimpin mesti dari kalangan
Quraisy. Alasannya, adanya hadits politik yang sangat terkenal di kalangan
sunni yang dinilai shahih oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Selanjutnya,
menurut Imam Daud pemimpin umat Islam di dunia ini mesti satu, orang yang
meninggal dalam kadaan tidak bai’at kepada imam, mati dalam keadaan jahiliah,
dan manusia tidak boleh taat kepada pemimpin yang memerintahkan melakukan
maksiat.
3.
Bagian tubuh perempuan yang
boleh dilihat kepada dipinang
Menurut Imam Daud, seluruh anggota tubuh perempuan yang
dipinang boleh dilihat oleh laki-laki yang meminangnya, karena Nabi Muhammad
SAW menganjurkan laki-laki yang meminang melihat perempuan yang dipinangnya
secara mutlak tanpa dirinci tentang anggota tubuh yang boleh dilihat.
Daulah Abbasiah merupakan daulah yang
mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan umat Islam, baik
ilmu filsafat maupun ilmu-ilmu lainnya. Berikut tabel pembukuan Fikih dan
Hadits.
No Penulis Kitab Keterangan
1 Abu Hanifah Al Ashl Fikih
2 Malik Ibn Anas Al Muwathtah’ Hadits
3 Al Syafi’i Al Umm Fikih
4 Ahmad ibn Hanbal Al Musnad Hadits
5 Imam Bukhari Al Jami’ al Shahih Hadits
6 Daud Al Zhahiri Ibthal al Taqlid Fikih
7 Abu Daud Al Sunan Hadits
8 Imam Muslim Al Jami’ al Shahih Hadits
9 Al Tirmidzi Al Jami’ al Shahih Hadits
10 Ibnu Majah Al Sunan Hadits
11 Al Nasa’i Al
Sunan Hadits
Aliran-aliran fikih yang tumbuh dan
berkembang hingga sekarang dimungkinkan karena adanya dukungan penguasa. Mazhab
Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi
Hakim dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiah.
Mazhab Malik berkembang atas dukungan
al Manshur di Khilafah Timur dan Yahya ibn Yahya ketika diangkat menjadi qadli
oleh penguasan di Andalusia. Di Afrika, Mu’iz
Badis mewajibkan seluruh pendukuk mengikuti Mazhab Maliki.
Mazhab Syafi’I membesar di Mesir
setelah Shalahuddin al Ayubi merebut negeri itu. Mazhab Hanbali menjadi kuat
setelah al Mutawakil diangkat menjadi khalifah Abbasiah. Ketika itu, al
Mutawakil tidak akan mengangkat seorang qadli kecuali atas persetujuan Ahmad
ibn Hanbal.
Akhir zaman keemasan fikih adalah
ketidak munculan mujtahid mutlak yang dapat membangun cara dan mekanisme
berpikir hingga tidak ada lagi mujtahid pendiri mazhab. Akhir zaman keemasan
itu adalah ketika ijtihad ditutup sehingga ulama tidak lagi berijtihad kecuali
ijtihad dengan mengikatkan diri pada aliran fikih tertentu.
E. Zaman Taklid dan
Kemunduran
Kegiatan ijtihad mulai mengalami
penurunan, sebagian ulama memandang cukup untuk merujuk pendapat imam mazhabnya
tanpa perlu melakukan ijtihad kembali. Fase ini merupakan fase pergeseran
orientasi. Kalau sebelumnya merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah, maka
pada fase ini yang dirujuk adalah kitab-kitab fikih yang disusun oleh imam yang
dipandang lebih berkompeten.
Untuk menjaga kesucian kitab-kitab
fikih, para ulama melakukan kegiatan yang bersifat internal, yakni membangun
mazhab yang dianutnya sehingga dapat berkembang. Ada dua ciri yang cukup dominan yang menjadi
tanda kemunduran fikih Islam, yaitu taklid dan tertutupnya ijtihad.
1.
Taklid
Secara umum, penyebab taklid adalah
keterpakuan tesktual terjadi, hal ini dikarenakan keterbelengguan akal pikiran
sebagai akibat hilangnya kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir hilang
disebabkan karena adanya pemaksaan penggunaan aliran atau mazhab tertentu oleh
pihak penguasa.
Salah satu akibat keterbelengguan
akal dan pikiran adalah timbulnya pendapat ulama yang memandang bahwa pendapat
pada imam mazhab sepadan dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak dapat
diubah, digugat atau diganti. Itulah sebab umum terjadi taklid. Hal-hal yang
menyebabkan munculnya taklid adalah sebagai berikut:
a.
Adanya penghargaan yang
berlebihan kepada guru. Hal itu tercermin dalam anggapan bahwa pertama setiap
orang dewasan diwajibkan menganut salah satu mazhab dan diharamkan keluar dari
mazhab yang dianutnya itu, kedua mengambil pendapat selain pendapat imam yang
dianutnya adalah haram, dan ketiga guru yang terdahulu lebih mengetahui makna
nash daripada kita.
b.
Banyaknya kitab fikih. Yang
dikhawatirkan setelah munculnya kitab-kitab fikih adalah disibukkannya ualam
dengan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih melalui upaya pembuatan
ringkasan, penjelasan dan penjelasan atas penjelasan.
c.
Melemahnya Daulah Islamiyah.
Dukungan pemerintahan sangat berpengaruh terhadap kegiatan ilmiah. Melemahnya
pemerintahan berarti melemah pula dukungan terhadap pengembangan ilmu.
d.
Adanya anjuran sultan untuk
mengikuti aliran yang dianutnya. Kedudukan sultan berpengaruh terhadap taklid
karena sultan hanya mengangkat qadli atau hakim dari mazhab yang dianutnya.
e.
Adanya keyakinan sebagian ulama
yang beranggapan bahwa setiap pendapat mujtahid itu benar. Ada kesan bahwa ulama adalah agama yang mesti
diikuti.
2.
Ijtihad Ditutup
Ciri dominan yang kedua dalam
mengamati sebab kemunduran umat Islam adalah tertutupnya ijtihad. Dalam sejarah
tidak dapat ditemukan data otentik tentang ulama yang berpendapat bahwa ijtihad
telah tertutup. Adapun sebab ijtihad dinyatakan tertutup adalah sebagai
berikut:
Pertama, munculnya hubb al dunya di
kalangan ulama, yaitu ulama yang ilmunya digunakan hanya untuk mengejar
kepentingan duniawi dan ia lalai dalam ibadah serta kehilangan sifat zuhud.
Kedua, adanya perpecahan politik.
Pada akhir kekuasaan Abbasiah, khalifah dijadikan boneka; daerah-daeah yang
dikuasainya masing-masing berdiri sendiri dan saling bermusuhan.
Ketiga, adanya perpecahan aliran
fikih. Sebagian umat Islam ada yang beranggapan bahwa pendapat ulama sepadan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Pendapat ulama tidak boleh diubah atau diganti
dengan pendapat lain. Anggapan ini tentu akan melahirkan ketidakharmonisan di
kalangan umat Islam, sebab dalam sejarah umat Islam terdapat banyak aliran.
Ijtihad ditutup karena munculnya
keterbelengguan pemikiran atau kegiatan pengembangan ilmu; ijtihad adalah
bagian dari kegiatan ilmiah. Oleh karena itu, tertutupnya ijtihad merupakan
implikasi dari keadaan umum umat Islam yang sedang berada pada fase kemunduran
Secara implisit, sebab-sebab ijtihad
ditutup menunjukkan adanya ketidakharmonisan internal umat Islam. Secara umum,
dapat dikatakan bahwa pada fase kemunduran, hubungan umat Islam secara internal
tidak harmonis. Rasa saling menghormati yang berkembang sebelumnya digantikan
dengan kebiasaan saling menghina. Hal lain yang menandai ketidakharmonisan di
kalangan umat Islam adalah berkembangnya sikap saling menyalahkan pendapat
ulama lain.
F. Ulama yang Hidup pada Fase
Taklid
1.
Ibnu Hazm al Zhahiri
Nama lengkap beliau adalah ‘Ali ibn
Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ibn Ghalib ibn Shalih ibn Abi Sufyan ibn Yazid. Nama
panggilan beliah adalah Abu Muhammad. Ia dilahirkan pada tanggal 7 November 994
M di Cordova dan meninggal pada tahun 1064 M. Ayahnya, Yazid adalah seorang
menteri pada zaman pemerintahan al Manshur dan al Muzhaffar.
Pada awalnya, Ibnu Hazm mempelajari
Fikih Malik, karena mazhab inilah yang banyak dianut masyarakat Andalus dan
Afrika Utara. Hasil pemahaman Ibnu Hazm terhadap kita yang ia pelajari akhrinya
mendorongnya untuk mempelajari dan mendalami kitab-kitab fikih karya al
Syafi’i, sehingga ia menjadi pengikut mazhab al Syafi’i. Setelah kitab fikih
karangan Munzhir ibn Sa’ad al Zhahiri, Ibnu Hazm pindah ke aliran Zhahiri.
Cara istinbath hukum menurut Ibnu
Hazm adalah bahwa adillah adalah Al-Qur’an, hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang tsiqoh atau mutawatir, ijma’ dan al dalil. Selanjutnya ia juga mengatakan
bahwa ayat Al-Qur’an adakalanya sudah jelas dengan sendirinya, dan adakalanya
membutuhkan penjelasan dari al Sunnah.
Ibnu Hazm membagi al dalil menjadi
dua, yaitu, al dalil yang diambil dari nash dan al dalil yang diambil dari
ijma’. Al dalil yang diambil dari nash adalah sebagai berikut:
a.
Nash yang terdiri atas dua
proposisi atau mukodimah, yaitu kubra dan sughra. Aliran ini memandang bahwa
kesimpulan yang demikian bukan analogi atau qiyas, tetapi merupakan penerapan
nash dan pengembangannya dengan konsep al dalil.
b.
Penterapan segi keumuman makna.
Umpamanya keumuman fi’l syarth yang terdapat dalam firman Allah
@è% z`Ï%©#Ïj9 (#ÿrãxÿ2 bÎ) (#qßgtG^t öxÿøóã Oßgs9 $¨B ôs% y#n=y bÎ)ur (#rßqãèt ….
Katakanlah
kepada orang-orang yang kafir itu[609]: "Jika mereka berhenti (dari
kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka
yang sudah lalu; …".
c.
Makna yang ditunjuk oleh suatu
lafad mengandung penolakan terhadap makna lain yang tidak mungkin bersesuaian
dengan manka yang dikandung oleh lafad tersebut.
d.
Apabila sesuatu yang tidak ada
nash yang menentukan hukumnya, apakah wajib dilakukan atau haram dilakukan,
maka hukumnya adalah mubah.
e.
Qadlaya mudarajat (proposisi
berjenjang), yaitu pemahaman bahwa derajat tertinggi itu dipastikan berada di
atas derajat yang lain yang berada di bawahnya.
f.
Aks al qadlaya (pertentangan
proposisi), yaitu pemahaman yang menyatkaan bahwa setiap proposisi kulliyat
senantiasa memiliki pengertian yang berlawanan dengan proposisi juz’iyyatnya.
g.
Cakupan makna yang merupakan
keharusan yang menyertai makan dimaksud. Pengambilan makna lain yang tidak
terlepas dari makan tersebut dinamakan pula dengan al dalil.
Adapun empat macam al dalil yang
diambil dari ijma’ adalah sebagai berikut:
a.
Istishhab al hal, yaitu
kekalnya hukum ashl yang telah tetap berdasarkan nash, hingga ada dalil tertentu
yang menunjukkan adanya perubahan. Konsep istishhab dalam alirah Zhahiri tidak
didasarkan pada akal, tetapi pada nash Al-Qur’an yang bersifat umum.
b.
Aqallu ma qila adalah target
minimal atau terendah dari suatu ukuran perselisihan. Apabila ulama berikhtilaf
tentang ukuran atau kadar yang wajib ditunaikan, seperti zakat dan harta
warisan, al Zhahiri berpendirian bahwa ia mengambil target minimal atau ukuran
terendah dari ukuran yang diikhtilafkan.
c.
Ijma’ ulama untuk meninggalkan
suatu pendapat. Apabila timbul berbagai pendapat di kalangan ulama mengenai
suatu masalah dan mereka sepakat untuk meninggalkan salah satunya. Kesepatakan
mereka merupakan al dalil bagi batalnya pendapat itu.
d.
Ijma’ ulama tentang
universalitas hukum. Apabila suatu hukum ditujukan untuk sebagiankaum muslimin,
pada dasarnya hukum tersebut dipandang berlaku secara umum untuk segenap umat
Islam atas dasar kesamaan kedudukan mereka di hadapan hukum, selama tidak
terdapat nash tertentu yang menujukkan kekhususan berlakunya hukum itu untuk sebagian
dari mereka.
2.
Abu Hamid Al Ghazali
Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu
Hamid Muhammad Ibnu Muhammad ibn Muhammad al Ghazali. Beliau dilahirkan di
Ghazaleh pada tahun 450 H dan meninggal di tempat yang sama pada tahun 505 H.
Ketika masih muda, al Ghazali belajar
di Nisyapur dan Khurasan yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu
pengetahuan yang penting di dunia Islam. Bidang-bidang ilmu agama yang
dikuasainya adalah akidah, ushul al fiqh, fikih, mantik, filsafat, dan tasawuf.
Langkah-langkah ijtihad Imam al
Ghazali pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh imam
mazhab yang dianutnya, yaitu Imam al Syafi’i. apabila ada suatu permasalahan,
langkah-langkah yang dilakukannya adalah sebagai berikut:
a.
Nushush al kitab
b.
Hadits mutawatir
c.
Hadits ahad
d.
Apabila tidak didapatkan dalam
tiga landasan di atas, ia menggunakan zhahir al kitab
e.
Apabila tidak didapatkan dalam
empat landasan di atas, ia menggunakan ijma’ jika diketahui terdapat ijma’
f.
Apabila dalam ijma’ pun tidak
didapatkanya, ia menggunakan analogi (qiyas).
3.
Ibnu Taimiah
Nama lengkap Ibnu Taimiah adalah
Taqiy al Din al Abbas Ahmad Abd al Halim ibn al Imam Majd al Din Abi al Barakah
Abd al Salam ibn Muhammad al Khudlri ibn Abd Allah ibn Taimiah al Harran. Ia
lahir pada tanggal 22 Januari 1263 M. Beliau dilahirkan di Harran yang terletak
di sebelah utara Mesopotamia dan sebelah
tenggara Turki Modern.
Ayah Ibnu Taimiah dikenal sebagai
orang alim, demikian pula dengan kakeknya. Kakeknya dikenal sebagai pengajar
dan penghafal hadits, mufasir, ahli ilmu ushul dan ilmu nahu. Dengan demikian,
Ibnu Taimiah belajar menghafal Al Qur-an dari ayahnya, mempelajari dan
menghafal hadits, mushthalah al hadits al jarh wa al ta’dil, tafsir, fikih,
ushul al fiqh, mantik, filsafat, kalam, aljabar, ilmu hitung, kimia, ilmu jiwa
dan ilmu falak.
Ibnu Taimiah merupakan salah satu
ulama yang mewakili zamannya. Oleh karena itu, ia pun memiliki pendapat yang
bisa jadi berbeda dengan imam mazhab yang dianutnya, yaitu Ahmad ibn Hanbal. Di
antara pendapatnya adalah sebagai berikut:
a.
Kedewasaan sebagai penghapus
hak ijbar
Ibnu Taimiah berpendapat, hak ijbar tidak terletak pada
kegadisan dan kejandaan, meskipun dalam hadits secara eksplisit dikatakan bahwa
(al ayyim), tetapi pada kedewasaan. Oleh karena itu, hak ijbar wali akan hilang
apabila anak yang akan dinikahkannya sudah dewasa, baik ia masih gadis maupun
sudah pernah menikah.
b.
Pengangkatan pemimpin termasuk
kewajiban agama
Ibnu Taimiah mengatakan bahwa mengangkat pemimpin
merupakan salah satu kewajiban agama. Sebab kemaslahatan manusia tidak akan
sempurna kecuali dengan bermasyarakat yang antara yang satu dengan lainnya
saling memerlukan. Karena bermasyarakat, manusia wajib menjadikan salah seorang
di antara mereka sebagai pemimpin.
Dalam pandangannya, pemimpin adalah bayang-bayang atau
wakil Tuhan di bumi. Di samping itu, menurutnya keberadaan pemimpin yang tidak
adil (fajir) lebih maslahat daripada manusia tidak menjadi pemimpin.
c.
Klasifikasi manusia
Ibnu Taimiah membagi manusia ke dalam empat kelompok,
yaitu:
1)
Manusia yang ingin dipandang
tinggi dan melakukan kerusakan di bumi. Mereka adalah orang-orang yang
melakukan maksid terhadap Allah. Mereka adalah para raja dan pemimpin yang
melakukan kerusakan.
2)
Manusia berasal dari kelas
bawah yang menghendaki kerusakan yang melakukan maksiat, seperti para pencuri
dan para pelaku tindakan jarimah.
3)
Manusia yang ingin menjadi
petinggi tanpa melakukan perusakan, yaitu mereka yang memegang teguh ajaran
agama.
4)
Manusia yang termasuk penghuni
surga, yaitu mereka yang berpegang teguh pad ajaran agama yang tidak ingin
menjadi petinggi dan tidak melakukan kerusakan.
0 komentar:
Posting Komentar