Aku, dan apa yang ada di sekitarku...

Senin, 08 September 2014

Posted by ashidqy hayun on 08.43 in | No comments
Pada dasarnya, sejarah merupakan penafsiran terhadap peristiwa zaman lampau yang dipelajari secara kronologis. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan periodesasi sejarah hukum Islam. Berikut akan diuraikan periodisasi sejarah hukum Islam.

A.    Hukum Islam Pada Zaman Rosulullah
Bangsa Arab pra-Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis Arab yang strategis, membuat Islam mudah tersebar ke berbagai wilayah. Hal lain yang mendorong cepatnya perluasan wilayah adalah berbagai upaya yang dilakukan umat Islam.
Ciri-ciri utama tatanan bangsa Arab pra-Islam adalah sebagai berikut:
1.      Menganut paham kesukuan (qabilah)
2.      Memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas, faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan.
3.      Mengenal hierarki sosial yang kuat
4.      kedudukan perempuan cenderung direndahkan.
Dilihat dari sumber yang digunakan, hukum arab pra-Islam bersumber pada adat-istiadat. Dalam bidang muamalah, di antara kebiasaan mereka adalah dibolehkannya transaksi mubadalah (barter), jual beli, kerjasama pertanian (muzaro’ah), dan riba. Di samping itu, di kalangan mereka juga terdapat jual beli yang bersifat spekulatif seperti bai’ al-munabadzah.
Diantara ketentuan hukum keluarga arab pra-Islam adalah dibolehkannya berpoligini dengan perempuan dengan jumlah tanpa batas, serta anak kecil dan perempuan tidak dapat menerima harta pusaka atau harta peninggalan.
Tatanan masyarakat arab pra-Islam cenderung merendahkan martabat wanita dapat dilihat dari dua kasus. Pertama, perempuan dapat diwariskan, seperti seorang ibu tiri harus rela dijadikan istri oleh anak tirinya ketika suaminya meninggal; ibu tiri tidak mempunyai hak pilih, baik untuk menerima ataupun menolaknya. Kedua, perempuan tidak memperoleh harta pusaka.
Hukum Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dapat dibedakan menjadi dua fase; fase Mekah dan fase Madinah. Ciri-ciri masyarakat Islam pada fase Mekah adakah (a) jumlahnya masih sangat sedikit, (b) karena kecil, mereka masih sangat lemah dibandingkan dengan kekuatan yang dimiliki para penentang Islam dan (c) karena lemah, mereka dikucilkan masyarakat penentang Islam; misalnya kegiatan ekonominya diblokade.
Masyarakat Islam yang dibimbing oleh Nabi Muhammad SAW di Mekah adalah masyarakat yang baru saja memeluk Islam yang sebelumnya menyembah berhala. Langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah memperbaiki akidah mereka, sebab akidah adalah fondasi bagi amaliah ibadah.
Perbaikan akidah diharapkan dapat menyelamatkan umat Islam dari kebiasaan sebelumnya, seperti kebiasaan berperang, zina, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Karena tekanan dari masyarakat yang benci terhadap Islam begitu kuat, akhirnya Nabi Muhammad beserta pengikutnya hijrah ke Madinah. Setelah hijrah, fase Madinah dimulai.
Nabi Muhammad SAW tinggal di Madinah sekitar 10 tahun, dimulai dari hijrah hingga Nabi Muhammad SAW wafat. Ciri-ciri masyarakat Islam fase Madinah adalah (a) Islam tidak lagi lemah karena jumlahnya banyak dan berkualitas, (b) mengeliminasi permusuhan dalam rangka mengesakan Allah, (c) adanya ajakan untuk mengamalkan syariat Islam dalam rangka memperbaiki hidup bermasyarakat dan (d) aturan damai dan perang.
Dengan keadaan masyarakat yang demikian, yang disyariatkan pada fase Madinah adlaah hukum kemasyarakatan yang mencakup: a) muamalat, b) jihad, c) jinayat, d) mawarist, e) wasiat, f) talak, g) sumpah, dan h) peradilan.
Dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi, Nabi Muhammad SAW senantiasa berpedoman pada Al-Qur’an maupun Al-Sunnah. Begitu pula sahabat menaati dan mengikuti keputusan Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa arab, dinukil secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah. Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua: ibadah dan muamalah. Yang termasuk ibadah adalah sholat, zakat, haji, dan nazar. Adapun muamalah adalah hukum yang bertujuan membangun keselarasan hubungan manusia dengan manusia. Cakupan muamalah adalah sebagai berikut:
1.      Hukum Keluarga, yaitu hukum yang mengatur hubungan individu dengan individu dalam keluarga dan kekerabatan.
2.      Hukum Kebendaan, yaitu hukum yang mengatur tukar-menukar harta seperti ijarah, rahn, kafalah dan syirkah.
3.      Hukum jinayah, yaitu hukum yang mengatur pelanggaran dan sanksi yang dilakukan oleh mukalaf. Tujuannya adalah menjaga hidup manusia dan hartanya.
4.      Lembaga peradilan, yaitu hukum yang mengatur syarat-syarat hakim, saksi, dan sumpah.
5.      Hukum dusturi, yaitu hukum yang berhubungan dengan interaksi antara pemimpin dengan rakyat.
6.      Hukum negara, yaitu hukum yang mengatur hubungan kenegaraan, hubungan antarnegara.
7.      Hukum ekonomi, yaitu hukum yang berhubungan dengan antara kaya dan miskin dan antara individu dan kelompok.
Al-sunnah dipahami sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, maupun taqrir. Apabila penyandaran itu diriwayatkan oleh mayoritas ulama yang mustahil dusta, hadits atau sunnah itu berkualitas mutawatir. Semakin rendah kualitas penyandarannya, akan semakin rendah pula kualitasnya. Pengkategoriannya menjadi hadits masyhur, dan hadits ‘ahad. Kualitas hadits ‘ahad diklasifikasi menjadi shahih, hasan, dan dla’if. Apabila penyadaran itu terbukti bohong, riwayat tersebut termasuk maudhlu’.
Selain Al-Qur’an dan Al-sunnah, Nabi Muhammad SAW juga berijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari Allah. Ijtihad adalah suatu metode penggalian hukum Islam; sedangkan dari segi “hasil”, termasuk sumber hukum Islam.

B.     Hukum Islam pada Zaman Sahabat
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sahabat sebagai generasi Islam pertama, meneruskan ajaran dan misi kerasulan. Abu Bakar adalah sahabat pertama yang terpilih menjadi pengganti Nabi Muhammad SAW. Kemudian Umar Ibn Khathab, dilanjutkan Usman Ibn Affan, dan sahabat yang terakhir adalah Ali ibn Abi Thalib.
Beberapa persoalan penting yang dihadapi pada zaman sahabat adalah:
1.      Sahabat khawatir akan kehilangan Al-Qur’an karena banyaknya sahabat yang hafal Al-Qur’an meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.
2.      Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Al-Qur’an akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
3.      Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rosulullah SAW.
4.      Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
5.      Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat karena Islam adalah petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam menghadapi kekhawatiran-kekhawatiran di atas, para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an berdasarkan bahan-bahan yang ada, yaitu hafalan dan catatan menjadi berbentuk buku
Sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman-zaman sahabat adalah a) Al-Qur’an, b) Sunnah, dan c) ijtihad. Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut ijma’.
Dalam perkembangannya, fatwa-fatwa pada zaman sahabat selalu berkembang, namun sulit dibuktikan secara kronologis karena tidak ada data yang menunjukkan kronologi dari pendapat-pendapat dari pada sahabat.

C.    Hukum Islam pada Zaman Tabi’in
Setelah masa khalifah yang empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Pemerintahan ini didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang sebelumnya menjadi Gubernur Damaskus.
Pada fase ini, perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisist mendorong terbentuknya aliran hukum. Di antara faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah sebagai berikut:
1.      Perluasan wilayah
Banyaknya daerah baru yang dikuasai Islam berarti banyak pula persoalan yang dihadapi oleh umat Islam; persoalan tersebut perlu diselesaikan berdasarkan Islam karena agama khanif ini merupakan petunjuk bagi manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam; karena semakin luas wilayah yang dikuasai berarti semakin banyak penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak penduduk, semakin banyak pula persoalan hukum yang harus diselesaikan.
2.      Perbedaan penggunaan ra’yu
Pada zaman tabi’in, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran hadits dengan aliran ra’yu. Aliran hadits adalah golongan yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat hati-hati dalam penggunaan ra’yu, sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding dengan hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan ikhtilaf, dan pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan hukum Islam.
Secara umum, tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan dan penerapan hukum yang telah dilakukan sahabat dalam istinbath al-ahkam. Langkah-langkah yang mereka lakukan adalah sebagai berikut:
1.      Mencari ketentuannya dalam Al-Qur’an
2.      Apabila ketentuan itu tidak didapatka dalam Al-Qur’an mereka mencarinya dalam sunnah
3.      Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat.
4.      Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian, sumber-sumber atau dasar-dasar hukum Islam pada periode ini adalah 1) Al-Qur’an, 2) Sunnah, 3) Ijma’ dan pendapat sahabat, 4) Ijtihad.

D.    Pembentukkan Mazhab dan Pembukuan Hadits
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasiah. Berbeda dengan fase sebelumnya yang ditandai dengan perluasan wilayah, fase ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pengaruhnya masih dapat dibuktikan sampai saat ini. Fase ini, dalam sejarah hukum Islam dikenal sebagai fase atau zaman keemasan.
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut:
Pertama, banyaknya mawali yang masuk Islam. Pada zaman Umayyah, Islam telah berhasil menguasai pusat-pusat peradaban Yunani, yaitu Antioch dan Bactra.
Dalam upaya mentransformasikan ilmu Yunani ke dunia Islam diperlukan banyak ilmuwan yang menerjemahkah buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab. Melalui gerakan penerjemahan ini, karya-karya dari Yunani dalam bidang filsafat, kedokteran, dan ilmu pengetahuan dapat dibaca umat Islam.
Kedua, berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan. Dalam bidang Ilmu Kalam terjadi perdebatan; setiap kelompok memiliki cara berpikir tersendiri dalam memahami akidah Islam. Selain itu, saat itu terjadi pula pertarungan pemikiran antara mutakalimin, muhadditsin, dan fuqaha.
Ketiga, adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Al-Qur’an dengan dua cara, yaitu dicatat (dikumpulkan dalam satu mushaf) dan dihafal. Pelestarian Al-Qur’an melalui hafalan dilakukan dengan mengembangkan cara membacanya sehingga saat itu dikenal corak-corak bacaan Al-Qur’an. Corak bacaan Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua yaitu bacaan yang shahih dan bacaan yang syadzah.
Aliran hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga kini hanya beberapa, diantaranya Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah. Aliran Hanafiah didirikan oleh Abu Hanifah. Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada zaman Dinasti Umayyah dan meninggal pada zaman Dinasti Abbasiah.
Abu Hanifah belajar fikih kepada ulama Irak (ra’yu). Ia dianggap representatif untuk mewakili pemikiran aliran ra’yu. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui guru-guru dan murid-muridnya sehingga dari segi hubungan guru-murid kita dapat menyaksikan bahwa dia termasuk salah seorang generasi pengembang aliran ra’yu.
Abu Hanifah mempunya dua cara berijtihad yaitu cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihad yang pokok adalah apabila tidak mendapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul, maka merujuk kepada qaul sahabat.
Sedangkan cara ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah 1) bahwa dilalah lafad umum (‘am) adalah qath’i seperti lafad khash, 2) bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus, 3) bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat, 4) adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat, 5) bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya, 6) mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan, 7) menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.
Berikut ini di antara pendapat dari Abu Hanifah:
1.      Bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf mesjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif terus meninggal dunia.
2.      Bahwa perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya, karena perempuan tidak diolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata.
3.      Shalat Gerhana dilakukan dua rekaat sebagaimana shalat Ied, bukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.
Malikiah adalah aliran hukum Islam yang didirikan oleh Imam Malik. Ia dilahirkan di Madinah pada zaman Bani Umayyah dan meninggal pada zaman Bani Abbasiah.
Imam Malik adalah ulama pendiri mazhab. Karena itu, ia memiliki murid dan pengikut yang meneruskan dan melestarikan pendapat-pendapatnya. Disamping melestarikan pendapat Imam Malik, para pengikutnya juga menulis kita yang dapat dijadikan rujukan pada generasi berikutnya.
Langkah-langkah ijtihad Imam Malik adalah sebagai berikut:
1.      Mengambil dari Al-Qur’an
2.      Menggunakan zhahir Al-Qur’an, yaitu lafad umum
3.      Menggunakan dalil Al-Qur’an mafhum al muwafaqoh
4.      Menggunakan dalil Al-Qur’an mafhum mukhalafah
5.      Mengunakan tanbih Al-Qur’an, yaitu memperhatikan illat.
Salah satu dalil hukum yang sering digunakan oleh Imam Malik adalah Ijma’ ulama Madinah. Imam Malik lebih mengutamakan ijma’ dan amal ulama Madnah dari pada qiyas, khobar ahad, dan qaul sahabat. Beberapa ijma’ dan amal ulama Madinah adalah
1.      Kesucian mustahadlah
Wanita yang haid atau nifas diwajibkan mandi satu kali; kesuciannya setelah itu cukup dengan berwudlu Hujah yang ia gunakan adalah amal ulama Madinah.
2.      Berjimak dengan perempuan mustahadlah
Laki-laki diharamkan berjimak dengan istrinya yang sedang haid atau nifas.
3.      Qamat shalat
Qamat shalat dilakukan satu kali-satu kali.
4.      Bacaan shalat di belakang imam
Dalam shalat berjama’ah, makmum disunatkan membaca bacaan shalat ketika bacaan shalat imam tidak terdengar (al jahr) dan meninggalkan bacaan shalat ketika bacaan shalat imam terdengar.
5.      Takbir zawa’id dalam shalat hari raya
Takbir zawa’id dalam shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha adalah 6 kali takbir, selain takbiratul ikhrom pada rekaan pertama, sedangkan takbir pada rakaat kedua adalah 5 kali takbir, selain takbir bangkit dari sujud.
6.      Jumlah rakaat minimal dalam shalat witir
Menurut Imam Malik, jumlah rakaat shalat witir yang paling sedikit adalah 3 rakaat. Hujahnya adalah amal ulama Madinah.
7.      Shalat musafir
Orang yang dalam perjalan dibolehkan melakukan shalat qashar dan atau shalat jama’. Apabila seseorang mendapatkan waktu shalat dalam perjalanan kemudian mengkahirkan kewajiban shalatnya, tetapi sebelum melaksanakan kewajiban shalat tersebut ia (musafir) telah sampai dirumahnya (sehingga ia berkedudukan sebagai muqim, bukan musafir lagi), menurut Imam Malik, orang tersebut diharuskan melakukan shalat sebagai musafir.
8.      Bacaan shalat jenazah
Dalam shalat jenazah terdapat empat kali takbir, Memuji Allah setelah takbir pertama, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW setelah takbir kedua, doa bagi mayit setelah takbir ketiga, dan salam setelah takbir keempat.
9.      Sujud tilawah
Imam Malik berpendapat bahwa tempat bacaan dalam Al-Qur’an yang pembaca dan yang mendengarnya dianjurkan sujud terdapat 11 ayat.
10.  Nishab zakat emas
Nishab zakat emas adalah 20 dinas tanpa memperhitungkan harganya, emas yang kurang dari dua puluh dinar tidak wajib dizakati.
11.  Zakat harta milik yang mempunyai utang
Seseorang yang memiliki harta yang sudah mencapai nishab wajib zakat, tetapi ia mempunyai hutang,  menurut Imam Malik apabila yang bersangkutan memiliki harta untuk membayar utangnya, dan ia mempunyai harta lain yang terkena wajib zakat, maka ia wajib menzakati harta tersebut.
12.  Zakat utang
Orang yang mengutangkan harta kepada yang lain, dan harta yang dipinjamkan mencapai nishab, yang bersangkutan wajib mengeluarkan zakatnya secara mutlak. Akan tetapi Imam Malik mengatakan bahwa kewajiban tersebut ditunaikan apabila utang itu sudah ia kuasai kembali yang sebanding dengan harta yang mencapai nishab zakat atau apabila jumlah pembayaran utang mencapai nishab.
13.  Tanaman dan buah-buahan yang wajib dizakati
Menurut Imam Malik, harta yang tidak termasuk buah-buahan dan tanaman tidak wajib dizakati.
14.  Zakat tijarah ahl al-dzimmah
Ahl al Dzimmah yang berniaga di negeri muslimin diwajibkan zakat tijarah, kadar zakatnya adalah 10%, kecuali benda-benda seperti gandum dan minyak secara khusus dibawah ke daerah tertentu, zakatnya adalah 5%.
15.  Berhenti talbiah
Dalam ibadah haji terdapat talbiah. Imam Malik berpendapat bahwa talbiah tidak diucapkan lagi jika matahari terbenam pada hari Arofah.
16.  Khiyar majelis
Imam Malik berpendapat bahwa khiyar majelis itu tidak ada, jual beli sudah terjadi apabila penjual dan pembeli telah melakukan akad, penjual dan pembeli tidak mempunyai hak membatalkannya, baik sudah berpisah maupun belum.
17.  Barter
Barter boleh dilakukan, yang tidak boleh adalah menukar dengan tambahan dari salah satunya.
18.  Bapak mengawinkan anak perempuan tanpa izin
Wali berhak mengawinkan anak perempuannya tanpa izin dari anak yang bersangkutan adalah sah.
19.  Hal bulan madu bagi suami yang berpoligini
Suami yang beristri lebih dari 1 (satu) berhak berbulan madu dengan istri yang baru dinikahinya. Apabila masih gadis, hak bulan madunya adalah 7 malam, sedangkan jika berstatus janda, hal bulan madunya adalah 3 malam.
20.  Kadar susuan yang mengharamkan perkawinan
Imam Malik berpendapat bahwa setiap susuan dapat menjadi sebab haramnya menikah dengan ibu dan saudara sesusuan, sebab banyak dan sedikitnya susuan adalah sama.
21.  Talak dua yang berkelanjutan
Perempuan yang dicerai oleh suaminya dengan talak satu atau talak dua, kemudian perempuan tersebut menyelesaikan waktu tunggunya, dan menikah lagi dengan laki-laki lain, kemudian perempuan tadi ditinggal mati atau dicerai kembali oleh suaminya yang kedua, perempuan itu pun menyelesaikan waktu tunggunya dan menikah lagi dengan mantan suaminya yang pertama setelah waktu tunggunya selesai, bahwa talak yang telah ada sebelumnya (yang dilakukan dalam pernikahan yang pertama) masih berlaku.
22.  Talak dengan selesainya waktu tunggu i’la
Suami yang melakukan ila terhadap istrinya tidak (tergolong) menceraikannya, setelah waktu tunggunya selesai, suami berhak memilih; menceraikannya atau menyentuhnya kembali.
23.  Diyat karena luka oleh kerabat
Aqilah tidak wajib membayar diyat jika diyat kurang dari sepertiga, bila diyatnya sepertiga lebih, aqilah diwajibkan membayar diyat.
24.  Sanksi kafir dzimmi dengan sengaja
Imam Malik berpendapat bahwa seorang muslim yang membunuh kafir dzimmi tidak dibunuh kecuali pembunuhan yang disertai penipuan. Hujah beliau adalah amal penduduk Madinah.


25.  Pengaruh zina terhadap perkawinan
Haramnya kawin kepada ibu mertua adalah haram karena perkawinan, setiap pernikahan merujuk kepada persetubuhan yang dihalalkan, sedangkan zina tidak termasuk persetubuhan yang dihalalkan sehingga tidak dapat menentukan kekerabatan.
26.  Kesaksian penuduh zina setelah tobat
Kesaksian orang menuduh zina dapat diterima setelah yang bersangkutan tobat. Kesaksiannya diterima apabila tobatnya telah tampak.

Aliran Syafi’iah didirikan oleh Imam Syafi’i. Beliau lahir pada zaman Bani Abbas. Imam Syafi’I berguru kepada Imam Malik dan di Kufah ia berguru kepada Muhammad ibn Al-Hasan yang beraliran Hanafi. Imam Syafi’I merupakan ulama sintesis dari dua aliran yang berbeda, yaitu aliran Irak dan aliran Madinah.
Adapun langkah-langkah ijtihad Imam Syafi’i adalah “asal adalah Al-Qur’an dan sunnah. Apabila tidak dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia melakukan qiyas terhadap keduanya. Apabila hadits telah muttashil dan sanadnya shahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha). Makna hadits yang diutamakan adalah makna zhahir, ia menolak hadits munqathi kecuali yang diriwayatkan oleh Ibn al Musayyab, pokok (al ashl) tidak boleh dianalogikan kepada pokok, bagi pokok tidak perlu dipertanyakan.”
Al Syafi’i membagi pendapatnya menjadi dua: qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah pendapat al Syafi’i yang dikemukakan dand itulis di Irak. Sedangkan qaul jadid adalah pendapat Imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena Imam Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadits dan fikih yang diriwayatkan ulama Mesir yang tergolong ahl al hadits.
Imam Syafi’I memiliki pendapat yang sebagian besar tercermin dalam kitab Al-Umm, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Imamah
Masalah imamah adalah masalah agama, karena itu menurutnya mendirikan imamah merupakan kewajiban agama. Pemimpin umat Islam mesti beragama Islam dan orang-orang nonmuslim terlindungi.
2.      Hakim perempuan
Salah satu perdebatan ulama yang cukup menarik untuk diteliti adalah tentang hakim perempuan. Menurut Imam Syafi’I perempuan tidak boleh menjadi hakim secara mutlak, artinya perempuan tidak boleh menjadi hakim, baik hakim yang menangani hukum perdata maupun pidana.
3.      Rujukan Syafi’iah
Rujukan utama yang pada awalnya diimlakan kemudian ditulisnya adalah Kitab Al-Umm. Sedangkan kitab yang kedua adalah al Risalah.

Aliran Hanbali didirikan oleh Ahmad ibn Hanbal. Ia dilahirkan di Bagdad pada tahun 164 H. Beliau dikenal sebagai imam hadits dan memiliki kitab al-musnad. Ahmad ibn Hanbal adalah ulama ahli hadits dan fikih yang sudah dikenal masyarakat. Pandangannya berpengaruh di masyarakat. Ahmad ibn Hanbal sering melakukan perjalanan dalam rangka mempelajari hadits dan fikih. Salah satu guru Ahmad ibn Hanbal dalam bidang fikih adalah Abu Yusuf (pengikut dan penerus Mazhab Hanafi).
Pendapat-pendapat Ahmad ibn Hanbal dibangun atas lima dasar, yaitu antara lain:
1.      Al nushush dari Al-Qur’an dan Sunnah. Apaila telah ada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat, makna yang tersiratnya ia abaikan.
2.      Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia menukil fatwa sahabat, memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3.      Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4.      Ahmad ibn Hanbal menggunakan hadits mursal dan dla’if apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, atau ijma’ yang menyalahinya.
5.      Dalam pandangannya, qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.
6.      Langkah terakhir adalah menggunakan sadd al-dzara’i (melakukan tindakan prepentif terhadap hal-hal yang negatif).
Adapun fikih menurut Ahmad ibn Hanbal adalah dalam bidang pemerintahan, Ahmad ibn Hanbal mewajibkan umat Islam taat kepada imam dan amirul mukminin. Orang yang tidak taat kepada imam dipandang telah berlaku maksiat, dan apabila seseorang meninggal dalam keadaan tidak taat kepada pemimpin, ia termasuk yang mati dalam keadaan jahiliah.
Dalam bidang muamalah, terutama tentang khiyar al-majlis. Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (sudah berpisah), maka akad sudah lazim.
Aliran Zhahiri merupakan sebuah mazhab yang dinisbahkan kepada gelar pendirinya yaitu Daud Al Zhahiri. Setelah selang cukup lama mazhab ini kemudian diteruskan oleh Ibnu Hazm al Andalusi.
Imam Daud dilahirkan di kota Bagdad. Ia digelari al Zhahiri karena pendapatnya tentang cara memahami Al-Qur’an dan Sunnah, yakni dengan menggunakan kata zhahir Al-Qur’an dan Sunnah. Pada awalnya, Imam Daud belajar fikih al Syafi’i kepada guru-gurunya di Bagdad. Setelah itu dia melakukan perjalanan ke Naisabur untuk belajar hadits. Setelah itu ia keluar dari aliran Syafi’i dan membangun satu pendirian yang kemudian menjadi aliran tersendiri.
Imam Daud menolak al qiyas dan mengajukan al dalil sebagai cara memahami nash. Bagi Imam Daud, makna yang digunakan dari Al-Qur’an dan Sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat, ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari I’lat sebagaimana dilakukan oleh ulama yang mengakui al qiyas sebagai cara ijtihad. Menurut Imam Daud, syariat tidak boleh diintervensi oleh akal.
Imam Daud menentang al qiyas, dalam penolakannya ia berpendapat bahwa yang pertama melakukan qiyas adalah iblis. Meskipun demikian, ia tidak menolak qiyas secara keseluruhan. Qiyas yang ditolak Imam Daud adalah qiyas khafi, sedangkan qiyas jali diterimanya. Di antara pendapat Imam Daud adalah sebagai berikut:
1.      Yang junub boleh menyentuh Al-Qur’an
Pendapatnya yang sejalan dengan situasi ini adalah menurut Imam Daud Al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar itu adalah makhluk, sedangkan Al-Qur’an yang tertulis dalam Lauh Al-Mahfuzh bukan makhluk. Al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar di kalangan manusia adalah makhluk dan boleh disentuh oleh wanita yang sedang haid dan junub.
2.      Pemimpin Mesti dari Kalangan Quraisy
Imam Daud berpendapat bahwa pemimpin mesti dari kalangan Quraisy. Alasannya, adanya hadits politik yang sangat terkenal di kalangan sunni yang dinilai shahih oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Selanjutnya, menurut Imam Daud pemimpin umat Islam di dunia ini mesti satu, orang yang meninggal dalam kadaan tidak bai’at kepada imam, mati dalam keadaan jahiliah, dan manusia tidak boleh taat kepada pemimpin yang memerintahkan melakukan maksiat.
3.      Bagian tubuh perempuan yang boleh dilihat kepada dipinang
Menurut Imam Daud, seluruh anggota tubuh perempuan yang dipinang boleh dilihat oleh laki-laki yang meminangnya, karena Nabi Muhammad SAW menganjurkan laki-laki yang meminang melihat perempuan yang dipinangnya secara mutlak tanpa dirinci tentang anggota tubuh yang boleh dilihat.
sorry
Daulah Abbasiah merupakan daulah yang mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan umat Islam, baik ilmu filsafat maupun ilmu-ilmu lainnya. Berikut tabel pembukuan Fikih dan Hadits.

No      Penulis                            Kitab                            Keterangan
1         Abu Hanifah                    Al Ashl                         Fikih
2         Malik Ibn Anas                Al Muwathtah’             Hadits
3         Al Syafi’i                         Al Umm                        Fikih
4         Ahmad ibn Hanbal          Al Musnad                    Hadits
5         Imam Bukhari                  Al Jami’ al Shahih        Hadits
6         Daud Al Zhahiri              Ibthal al Taqlid             Fikih
7         Abu Daud                        Al Sunan                       Hadits
8         Imam Muslim                  Al Jami’ al Shahih        Hadits
9         Al Tirmidzi                      Al Jami’ al Shahih        Hadits
10       Ibnu Majah                      Al Sunan                       Hadits
11       Al Nasa’i                         Al Sunan                       Hadits

Aliran-aliran fikih yang tumbuh dan berkembang hingga sekarang dimungkinkan karena adanya dukungan penguasa. Mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi Hakim dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiah.
Mazhab Malik berkembang atas dukungan al Manshur di Khilafah Timur dan Yahya ibn Yahya ketika diangkat menjadi qadli oleh penguasan di Andalusia. Di Afrika, Mu’iz Badis mewajibkan seluruh pendukuk mengikuti Mazhab Maliki.
Mazhab Syafi’I membesar di Mesir setelah Shalahuddin al Ayubi merebut negeri itu. Mazhab Hanbali menjadi kuat setelah al Mutawakil diangkat menjadi khalifah Abbasiah. Ketika itu, al Mutawakil tidak akan mengangkat seorang qadli kecuali atas persetujuan Ahmad ibn Hanbal.
Akhir zaman keemasan fikih adalah ketidak munculan mujtahid mutlak yang dapat membangun cara dan mekanisme berpikir hingga tidak ada lagi mujtahid pendiri mazhab. Akhir zaman keemasan itu adalah ketika ijtihad ditutup sehingga ulama tidak lagi berijtihad kecuali ijtihad dengan mengikatkan diri pada aliran fikih tertentu.

E.     Zaman Taklid dan Kemunduran
Kegiatan ijtihad mulai mengalami penurunan, sebagian ulama memandang cukup untuk merujuk pendapat imam mazhabnya tanpa perlu melakukan ijtihad kembali. Fase ini merupakan fase pergeseran orientasi. Kalau sebelumnya merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah, maka pada fase ini yang dirujuk adalah kitab-kitab fikih yang disusun oleh imam yang dipandang lebih berkompeten.
Untuk menjaga kesucian kitab-kitab fikih, para ulama melakukan kegiatan yang bersifat internal, yakni membangun mazhab yang dianutnya sehingga dapat berkembang. Ada dua ciri yang cukup dominan yang menjadi tanda kemunduran fikih Islam, yaitu taklid dan tertutupnya ijtihad.
1.      Taklid
Secara umum, penyebab taklid adalah keterpakuan tesktual terjadi, hal ini dikarenakan keterbelengguan akal pikiran sebagai akibat hilangnya kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir hilang disebabkan karena adanya pemaksaan penggunaan aliran atau mazhab tertentu oleh pihak penguasa.
Salah satu akibat keterbelengguan akal dan pikiran adalah timbulnya pendapat ulama yang memandang bahwa pendapat pada imam mazhab sepadan dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak dapat diubah, digugat atau diganti. Itulah sebab umum terjadi taklid. Hal-hal yang menyebabkan munculnya taklid adalah sebagai berikut:
a.       Adanya penghargaan yang berlebihan kepada guru. Hal itu tercermin dalam anggapan bahwa pertama setiap orang dewasan diwajibkan menganut salah satu mazhab dan diharamkan keluar dari mazhab yang dianutnya itu, kedua mengambil pendapat selain pendapat imam yang dianutnya adalah haram, dan ketiga guru yang terdahulu lebih mengetahui makna nash daripada kita.
b.       Banyaknya kitab fikih. Yang dikhawatirkan setelah munculnya kitab-kitab fikih adalah disibukkannya ualam dengan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih melalui upaya pembuatan ringkasan, penjelasan dan penjelasan atas penjelasan.
c.       Melemahnya Daulah Islamiyah. Dukungan pemerintahan sangat berpengaruh terhadap kegiatan ilmiah. Melemahnya pemerintahan berarti melemah pula dukungan terhadap pengembangan ilmu.
d.      Adanya anjuran sultan untuk mengikuti aliran yang dianutnya. Kedudukan sultan berpengaruh terhadap taklid karena sultan hanya mengangkat qadli atau hakim dari mazhab yang dianutnya.
e.       Adanya keyakinan sebagian ulama yang beranggapan bahwa setiap pendapat mujtahid itu benar. Ada kesan bahwa ulama adalah agama yang mesti diikuti.
2.      Ijtihad Ditutup
Ciri dominan yang kedua dalam mengamati sebab kemunduran umat Islam adalah tertutupnya ijtihad. Dalam sejarah tidak dapat ditemukan data otentik tentang ulama yang berpendapat bahwa ijtihad telah tertutup. Adapun sebab ijtihad dinyatakan tertutup adalah sebagai berikut:
Pertama, munculnya hubb al dunya di kalangan ulama, yaitu ulama yang ilmunya digunakan hanya untuk mengejar kepentingan duniawi dan ia lalai dalam ibadah serta kehilangan sifat zuhud.
Kedua, adanya perpecahan politik. Pada akhir kekuasaan Abbasiah, khalifah dijadikan boneka; daerah-daeah yang dikuasainya masing-masing berdiri sendiri dan saling bermusuhan.
Ketiga, adanya perpecahan aliran fikih. Sebagian umat Islam ada yang beranggapan bahwa pendapat ulama sepadan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Pendapat ulama tidak boleh diubah atau diganti dengan pendapat lain. Anggapan ini tentu akan melahirkan ketidakharmonisan di kalangan umat Islam, sebab dalam sejarah umat Islam terdapat banyak aliran.
Ijtihad ditutup karena munculnya keterbelengguan pemikiran atau kegiatan pengembangan ilmu; ijtihad adalah bagian dari kegiatan ilmiah. Oleh karena itu, tertutupnya ijtihad merupakan implikasi dari keadaan umum umat Islam yang sedang berada pada fase kemunduran
Secara implisit, sebab-sebab ijtihad ditutup menunjukkan adanya ketidakharmonisan internal umat Islam. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pada fase kemunduran, hubungan umat Islam secara internal tidak harmonis. Rasa saling menghormati yang berkembang sebelumnya digantikan dengan kebiasaan saling menghina. Hal lain yang menandai ketidakharmonisan di kalangan umat Islam adalah berkembangnya sikap saling menyalahkan pendapat ulama lain.

F.     Ulama yang Hidup pada Fase Taklid
1.      Ibnu Hazm al Zhahiri
Nama lengkap beliau adalah ‘Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ibn Ghalib ibn Shalih ibn Abi Sufyan ibn Yazid. Nama panggilan beliah adalah Abu Muhammad. Ia dilahirkan pada tanggal 7 November 994 M di Cordova dan meninggal pada tahun 1064 M. Ayahnya, Yazid adalah seorang menteri pada zaman pemerintahan al Manshur dan al Muzhaffar.
Pada awalnya, Ibnu Hazm mempelajari Fikih Malik, karena mazhab inilah yang banyak dianut masyarakat Andalus dan Afrika Utara. Hasil pemahaman Ibnu Hazm terhadap kita yang ia pelajari akhrinya mendorongnya untuk mempelajari dan mendalami kitab-kitab fikih karya al Syafi’i, sehingga ia menjadi pengikut mazhab al Syafi’i. Setelah kitab fikih karangan Munzhir ibn Sa’ad al Zhahiri, Ibnu Hazm pindah ke aliran Zhahiri.
Cara istinbath hukum menurut Ibnu Hazm adalah bahwa adillah adalah Al-Qur’an, hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqoh atau mutawatir, ijma’ dan al dalil. Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa ayat Al-Qur’an adakalanya sudah jelas dengan sendirinya, dan adakalanya membutuhkan penjelasan dari al Sunnah.
Ibnu Hazm membagi al dalil menjadi dua, yaitu, al dalil yang diambil dari nash dan al dalil yang diambil dari ijma’. Al dalil yang diambil dari nash adalah sebagai berikut:
a.       Nash yang terdiri atas dua proposisi atau mukodimah, yaitu kubra dan sughra. Aliran ini memandang bahwa kesimpulan yang demikian bukan analogi atau qiyas, tetapi merupakan penerapan nash dan pengembangannya dengan konsep al dalil.
b.      Penterapan segi keumuman makna. Umpamanya keumuman fi’l syarth yang terdapat dalam firman Allah
@è% z`ƒÏ%©#Ïj9 (#ÿrãxÿŸ2 bÎ) (#qßgtG^tƒ öxÿøóムOßgs9 $¨B ôs% y#n=y bÎ)ur (#rߊqãètƒ  ….
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu[609]: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; …".
c.       Makna yang ditunjuk oleh suatu lafad mengandung penolakan terhadap makna lain yang tidak mungkin bersesuaian dengan manka yang dikandung oleh lafad tersebut.
d.      Apabila sesuatu yang tidak ada nash yang menentukan hukumnya, apakah wajib dilakukan atau haram dilakukan, maka hukumnya adalah mubah.
e.       Qadlaya mudarajat (proposisi berjenjang), yaitu pemahaman bahwa derajat tertinggi itu dipastikan berada di atas derajat yang lain yang berada di bawahnya.
f.       Aks al qadlaya (pertentangan proposisi), yaitu pemahaman yang menyatkaan bahwa setiap proposisi kulliyat senantiasa memiliki pengertian yang berlawanan dengan proposisi juz’iyyatnya.
g.      Cakupan makna yang merupakan keharusan yang menyertai makan dimaksud. Pengambilan makna lain yang tidak terlepas dari makan tersebut dinamakan pula dengan al dalil.
Adapun empat macam al dalil yang diambil dari ijma’ adalah sebagai berikut:
a.       Istishhab al hal, yaitu kekalnya hukum ashl yang telah tetap berdasarkan nash, hingga ada dalil tertentu yang menunjukkan adanya perubahan. Konsep istishhab dalam alirah Zhahiri tidak didasarkan pada akal, tetapi pada nash Al-Qur’an yang bersifat umum.
b.      Aqallu ma qila adalah target minimal atau terendah dari suatu ukuran perselisihan. Apabila ulama berikhtilaf tentang ukuran atau kadar yang wajib ditunaikan, seperti zakat dan harta warisan, al Zhahiri berpendirian bahwa ia mengambil target minimal atau ukuran terendah dari ukuran yang diikhtilafkan.
c.       Ijma’ ulama untuk meninggalkan suatu pendapat. Apabila timbul berbagai pendapat di kalangan ulama mengenai suatu masalah dan mereka sepakat untuk meninggalkan salah satunya. Kesepatakan mereka merupakan al dalil bagi batalnya pendapat itu.
d.      Ijma’ ulama tentang universalitas hukum. Apabila suatu hukum ditujukan untuk sebagiankaum muslimin, pada dasarnya hukum tersebut dipandang berlaku secara umum untuk segenap umat Islam atas dasar kesamaan kedudukan mereka di hadapan hukum, selama tidak terdapat nash tertentu yang menujukkan kekhususan berlakunya hukum itu untuk sebagian dari mereka.
2.      Abu Hamid Al Ghazali
Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad ibn Muhammad al Ghazali. Beliau dilahirkan di Ghazaleh pada tahun 450 H dan meninggal di tempat yang sama pada tahun 505 H.
Ketika masih muda, al Ghazali belajar di Nisyapur dan Khurasan yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Bidang-bidang ilmu agama yang dikuasainya adalah akidah, ushul al fiqh, fikih, mantik, filsafat, dan tasawuf.
Langkah-langkah ijtihad Imam al Ghazali pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh imam mazhab yang dianutnya, yaitu Imam al Syafi’i. apabila ada suatu permasalahan, langkah-langkah yang dilakukannya adalah sebagai berikut:
a.       Nushush al kitab
b.      Hadits mutawatir
c.       Hadits ahad
d.      Apabila tidak didapatkan dalam tiga landasan di atas, ia menggunakan zhahir al kitab
e.       Apabila tidak didapatkan dalam empat landasan di atas, ia menggunakan ijma’ jika diketahui terdapat ijma’
f.       Apabila dalam ijma’ pun tidak didapatkanya, ia menggunakan analogi (qiyas).
3.      Ibnu Taimiah
Nama lengkap Ibnu Taimiah adalah Taqiy al Din al Abbas Ahmad Abd al Halim ibn al Imam Majd al Din Abi al Barakah Abd al Salam ibn Muhammad al Khudlri ibn Abd Allah ibn Taimiah al Harran. Ia lahir pada tanggal 22 Januari 1263 M. Beliau dilahirkan di Harran yang terletak di sebelah utara Mesopotamia dan sebelah tenggara Turki Modern.
Ayah Ibnu Taimiah dikenal sebagai orang alim, demikian pula dengan kakeknya. Kakeknya dikenal sebagai pengajar dan penghafal hadits, mufasir, ahli ilmu ushul dan ilmu nahu. Dengan demikian, Ibnu Taimiah belajar menghafal Al Qur-an dari ayahnya, mempelajari dan menghafal hadits, mushthalah al hadits al jarh wa al ta’dil, tafsir, fikih, ushul al fiqh, mantik, filsafat, kalam, aljabar, ilmu hitung, kimia, ilmu jiwa dan ilmu falak.
Ibnu Taimiah merupakan salah satu ulama yang mewakili zamannya. Oleh karena itu, ia pun memiliki pendapat yang bisa jadi berbeda dengan imam mazhab yang dianutnya, yaitu Ahmad ibn Hanbal. Di antara pendapatnya adalah sebagai berikut:
a.       Kedewasaan sebagai penghapus hak ijbar
Ibnu Taimiah berpendapat, hak ijbar tidak terletak pada kegadisan dan kejandaan, meskipun dalam hadits secara eksplisit dikatakan bahwa (al ayyim), tetapi pada kedewasaan. Oleh karena itu, hak ijbar wali akan hilang apabila anak yang akan dinikahkannya sudah dewasa, baik ia masih gadis maupun sudah pernah menikah.
b.      Pengangkatan pemimpin termasuk kewajiban agama
Ibnu Taimiah mengatakan bahwa mengangkat pemimpin merupakan salah satu kewajiban agama. Sebab kemaslahatan manusia tidak akan sempurna kecuali dengan bermasyarakat yang antara yang satu dengan lainnya saling memerlukan. Karena bermasyarakat, manusia wajib menjadikan salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.
Dalam pandangannya, pemimpin adalah bayang-bayang atau wakil Tuhan di bumi. Di samping itu, menurutnya keberadaan pemimpin yang tidak adil (fajir) lebih maslahat daripada manusia tidak menjadi pemimpin.
c.       Klasifikasi manusia
Ibnu Taimiah membagi manusia ke dalam empat kelompok, yaitu:
1)      Manusia yang ingin dipandang tinggi dan melakukan kerusakan di bumi. Mereka adalah orang-orang yang melakukan maksid terhadap Allah. Mereka adalah para raja dan pemimpin yang melakukan kerusakan.
2)      Manusia berasal dari kelas bawah yang menghendaki kerusakan yang melakukan maksiat, seperti para pencuri dan para pelaku tindakan jarimah.
3)      Manusia yang ingin menjadi petinggi tanpa melakukan perusakan, yaitu mereka yang memegang teguh ajaran agama.
4)      Manusia yang termasuk penghuni surga, yaitu mereka yang berpegang teguh pad ajaran agama yang tidak ingin menjadi petinggi dan tidak melakukan kerusakan.

0 komentar:

Posting Komentar

Search Our Site